Efek Persiapan Lahan Dan Kandungan Air Pada Sifat Hidrolik Tanah Permukaan Dan Albedo Gelombang Pendek

Abstrak

Modifikasi struktur tanah permukaan mempengaruhi proses proses tanah-air yang penting dalam produksi tanaman pangan dan konservasi tanah. Efek dari kandungan air tanah pra-persiapan (PTSW) dengan operasi persiapan lahan multi pass pada tanah yang baru dipersiapkan. Sasaran meliputi penentuan apakah PSTW bisa digunakan untuk memperbaiki manajemen sifat –sifat hidrolik persemaian dan apakah kondisi permukaan tanah yang diinduksi persiapan lahan mempengaruhi albdeo atau tidak. Dari tiga sekuen persiapan lahan (persiapan minimum, sedang, dan berlebihan) diaplikasikan pada tanah liat-endapan (silt-loam) templeton (campuran, mesic udic ustochrept), sekuen persiapan lahan berlebih menghasilkan volume mikropori terendah, terutama melalui penurunan dalam volume pori aerasi (pori >300 um diameternya). Slope karakteristik air diantara -1.0 dan -1500 kPa potensi matrik tidak dipengaruhi oleh treatment persiapan lahan. Sekuen persiapan lahan lebih menghasilkan konduktivitas hidrolik mean (potensi matrik = -0.4 kPa) dari 11.1 cm h-1, dibandingkan dengan 14.9 cm h-1 setelah persiapan lahan minimum. PTSW yang berbeda tidak menyebabkan perubahan signifikan dalam sifat-sifat hidrolik dari tanah yang baru dipersiapkan. Range struktur tanah yang diinduksi persiapan lahan mempengaruhi albedo gelombang pendek, tetapi pada tingkat yang lebih rendah daripada yang ditunjukkan dalam beberapa studi sebelumnya. Variasi albdeo gelombang pendek tanah gundul dengan sudut puncak nampak spesifik tanah, di sini penurunan kecil dalam albedo diamati ketika sudut puncak naik. Dalam tanah ini, dengan sekuen persiapan lahan yang dipraktekkan secara umum dan range representative PTSW kondisi lahan, informasi mengenai PTSW tidak akan membantu manipulasi sifat-sifat hidrolik dan albedo gelombang pendek dalam semaian segar.

Ladang yang ditaburi tanaman sereal pada tanah dangkal di dataran Canterbury Selandia baru sering rentan terhadap erosi angin selama periode dari persiapan lahan sampai pembentukan tanaman. Rugi air evaporatif selama periode ini mempengaruhi secara signifikan air yang ada untuk pertumbuhan tanaman dalam lingkungan ini. Erodibilitas dipengaruhi oleh kondisi fisik dari tanah permukaan dan oleh kandungan air tanah permukaan. Sehingga, dalam menilai dalam menilai praktek persiapan lahan untuk lingkungan ini, hubungan tanah-air pada semaian adalah penting.

Kondisi tanah yang berasal dari persiapan lahan mempengaruhi penyimpanan air tanah dan hilangnya air tanah melalui proses evaporasi. Rate evaporasi ditentukan oleh kapasitas evaporatif dari lingkungan atmosfertik atau oleh suplai air pad situs evaporasi, yang terbatas. Struktur permukaan tanah ditunjukkan mempengaruhi jumlah radiasi yang datangyagn diserap oleh tanah. Persiapan lahan mempengaruhi sifat hidrolik tanah dan infiltrasi dan pergerakan air terhadap siotuasi evaporasi. Sehingga, modifikasi struktur tanah permukaan bisa mempengaruhi evaporasi dengan mempengaruhi suplai energi yang ada dan suplai air untuk evaporasi.

Model simulasi keseimbangan air tanah mekanistik dan energi (misal, Van Bavel dan Hillel, 1976) memberikan tool yang berguna untuk menilai perubahan dalam keseimbangan air tanah yang berasal dari perubahan dalam sifat hidrolik dan sifat fisik. Untuk mengaplikasikan model ini, ada sebuah kebutuhan untuk menentukan efek praktek manajemen pada sifat tanah ini. Sehingga, untuk dengan benar mengevaluasi kecocokan sistem persiapan lahan yang berbeda untuk lingkungan tanah tertentu dan iklim tertentu, berikut harus ditentukan (i) struktur tanah yang dihasilkan oleh sistem persiapan lahan tertentu pada berbagai kandungan air tanah, dan (ii) pengaruh struktur tanah yang dihasilkan pada proses tanah-tanaman-air dalam iklim tertentu. Yang pertama adalah penekanan studi ini. Studi sebelumnya mempertimbangkan efek manajemen persiapan lahan pada sifat fisik tanah permukaan yang secara langsung mempengaruhi proses transport sediment oleh angin, dalam studi ini kami mempertimbangkan efek persiapan lahan pada sifat-sifat yang mempengaruhi erosi dengan mempengaruhi hubungan air tanah semaian.

Ada sedikit informasi kuantitatif dalam literatur yang menilai efek operasi persiapan lahan multi pass dan OTSW pada sifat hidrolik tanah yang penting dalam deskripsi pergerakan air tanah. Cresswell dkk (1991) menemukan bahwa operasi multi pass dan PTSW berinteraksi dalam menghasilkan efek signifikan pada distribusi ukuran agregat dari semaian segar. Mereka mengamati bahwa penghindaran persiapan lahan yang berlebihan mengurangi kemungkinan efek signifikan PTSW pada distribusi ukuran agregat. Studi ini adalah untuk menentukan apakah pengaruh dari persiapan lahan dan kandungan air pada sifat fisik tanah yang diamati oleh Cresswell dkk (1991) menerjemahkan efek besar pada karakteristik air tanah dan pada konduktivitas hidrolik dari tanah yang baru dipersiapkan. Ini akan menunjukkan apakah kandungan air tanah pra persiapan lahan dalam sistem tanaman bisa digunakan dalam manipulasi sifat hidrolik semaian atau tidak.

Kami juga akan membahas apakah range kondisi permukaan tanah yang dihasilkan sistem persiapan lahan yang umum digunakan di Selandia Baru menghasilkan variasi siginifikan dalam albedo dan apakah variasi ini besar dibandingkan dengan variasi albedo dengan kandungan air tamah permukaan. Meskipun studi sebelumnya (Coulson dan Reynold, 1971; Idso dkk, 1975, Jackson dkk, 1990; Iron dkk 1992) menunjukkan dependensi albedo pada kekasaran permukaan tanah, interaksi kekasaran permukaan dengan kandungan air tanah mendapatkan sedikit perhatian. Studi albedo sering menggunakan permukaan yang lebih halus daripada yang digunakan dalam operasi tanaman sereal komersial. Kami menguji besaran variasi yang disebabkan disebabkan struktur permukaan dalam albedo dan apakah variasi ini cukup besar ketika memutuskan pada operasi persiapan lahan yang tepat.

BAHAN DAN METODE

Situs eksperimental

Situs eksperiemental kami di Pertanian Riset, Universitas Lincoln, Caterbury, Selandia baru. Selama 7 tahun sebelumnya, lucerne /sejenis rmput makanan hewan (medicago sativa L), ditanam di ladang ini. . Tanah alluvial dari situs ini diklasifikasikan sebagai tanah silt loam. Pasir kasar rata-rata (0.2-2.10 mm), pasir halus (0.02-0.2 mm), endapan (0.002-0.02 mm) dan lempung (<0.002 style=""> 29, 20, 30 dan 21%, masing-masing, sebagaimana ditentukan oleh analisis ukuran partikel. Batas plastic bawah (batas Atterberg barah) ditentukan untuk permukaan 15 cm dari tanah menggunakan metode Thomas sebesar 0.30 kg kg-1 (error standard = 0.004 kg kg-1, 30 sampel). Bahan organik tanah ditentukan oleh teknik loss on ingnition (Ball, 1964), adalah 6.2% (error standard = 0.06%, 30 sampel). Densitas bulk kering dan porositas total zona kultivasi sebelum persiapan lahan adalah 1.18 mg m-3 (error standard = 0.01 Mg m-1) dan 53.5% (error standard =0.32), masing-masing. Deskripsi lebih lanjut dari tanah ini diberikan oleh Cresswell dkk (1991)

Prosedur eksperimental

Eksperimen ini adalah split plot, random, desain random dengan empat replikasi. Plot utama aad tiga PTSW (0.18, 0.23, dan 0.32 kg kg-1), yang berkaitan ddengan 0.58, 0.76, dan 1.0 kali batas plstik bawah. Range konten air adalah representative dimana tanah dikelola secara umum di Caterburi. Setiap plot utama dipisah menjadi sub plot ukuran 3.2 kali 14 m, masing-masing memiliki treatment sekuen yang berbeda. Sekuen tillage selanjutnya digunakan (i) tiga kali jalan cultivator spring tined berat (persiapan lahan minimum), dan (ii) bajak moldboard, kemudian tiga kali jalan garu spring tined (persiapan lahan sedang); (iii) bajak moldboard, tiga kali jalan cultivator rotary, diikuti dengan sekali jalan garu spring tined (persiapan lahan berlebihan).

Area percobaan ini disemprot dengan herbisida spectrum luas (36% glyphosate [isopropylamine salt N (Phosphonemethyl) glycine]) dan bahan tanaman residual dihilangkan ke level tanah menggunakan pemotong rumput sebelum persiapan lahan. Kontrol air tanah dicapai dengan sistem irigasi sprinkler. Koefisien Christiansent untuk keseragaman aplikasi ada 95% dalam udara (Christiansen, 1942). Air diaplikasikan pada rate rata-rata 3.5 mm h-1 melalui sprinkler yang bisa mengatur sendiri dalam kondisi kalem. Setiap plot utama disampling untuk menentukan air tanah segera sebelum persiapan lahan awal. Sampel gavimetrik sekitar 300 cm3 diambil dari 12 situs yang dipilih random pada setiap plot utama pada kedalaman 0 sampai 15 cm. persiapan lahan sekunder diselesaikand alam 1 jam persiapan lahan awal. Kedalaman pembajakan dibuat konstan sekitar 15 cm. Tidak ada pengukuran tanah yang dilakukan dalam area dimana roda traktor berjalan selama operasi persiapan lahan.

Pengukuran kekasaran permukaan dan sifat – sifat hidrolik dibuat pada tanah yang baru dipersiapkan sebelum kejadian hujan pasca persiapan lahan terjadi dan sebelum plot ini diirifasi sebelum penentuan albedo. Pengukuran lapangan ini dan sampling untuk analisis laboratorium diselesaikan dalam 8 hari persiapan lahan. Pengukuran albedo kemudian dimulai dan diselesaikan 22 hari selanjutnya.

Pengukuran eksperimental

Konduktivitas hidrolis dekat saturasi

Konduktivitas hidrolik pada -0.4 kPa potensial matrik ditentukan dalam laboratorium menggunakan infiltrometer inti utuh dan tensi (Cllothier dan White, 1981). Infiltrometer ini menggunakan jarum syringe hiodermik untuk membatasi entry udara dan menjaga potensi suplai. Inti tanah utuh (150 mm panjangnya kali 200 mm) diambil dari empat lokasi dalam setiap sub plot pada kedalaman 0 sampai 150 mm. Tanah ini dilembabkan, dan kemudian dijalankan mengalir selama 24 jam sebelum sampling. Stabilizer tanah (polyvinyl alcohol) diaplikasikan pada permukaan tanah sebelum pra-pembasahan situs sampling untuk menghindari perubahan dari tanah permukaan selama aplikasi air. Dalam laboratorium, skor ini disaturasi dengan menempatkannya dalam beberapa millimeter air de-aerasi sampai menjadi basah dengan peningkatan kapiler. Level air disesuaikan sampai dalam beberapa millimeter dari puncak inti. Setelah 24 jam, inti in idihilangkan dari air dan ditempatkan di stand yang dilapisi baja-gauze. Pasir halus ( potensial entry udara – 3 Kpa) diaplikasikan pada permukaan atas inti sebagai slurry untuk memudahkan kontak diantara permukaan tanah dan dasar infiltrometer. Aliran keluar dari infiltrometer dimonitor sampai keadaan steady state dicapai (biasnya <1 style=""> dihitung menurut Clothier dan White (1981) dan dikoreksi sampai suhu air 20oC. Satu penentuan konduktivitas hidrolik tunggal dibuat pada setiap inti tanah.

Karakteristik air tanah

Hubungan kandungan air tanah-potensial matrik ditentukan pada empat inti utuh yang diambil dari empat posisi random dalam setiap sub plot pada kedalaman 75 mm. Silinder sampling 70 mm kali 200 mm diameter, digunakan dalam plot yang menjadi subyek persiapan lahan minimum dan intermediate, ketika panjang 50 mm kali 104 mm diaeter, silinder digunakan dalam plot persiapan lahan berlebihan. Dalam setiap silinder sampling dilumasi dengan jelly minyak sebelum digunakan untuk meminimalkan efek ujung. Dalam laboratorium, inti disaturasikan dengan menempatkannya dalam beberapa milimeter air de-aerasi sempai menjadi basah karena peningkatan kapilaritas. Level air kemudian disesuaikan dalam beberapa millimeter bagian tas inti. Setelah 24 jam, inti dihilangkan dan ditempatkan pada tabel tensi untuk menentukan retensi air pada potensial -1.0, -3.0, -5.0 dan -10.0 kPa. Sub sampel utuh (panjang 15 mm kali 42 mm diameter) dari pusat setiap sampel meja tensi diseimbangkan menggunakan alat plat tekanan pada potensial -33, -100, -300, -500, dan -1500 kPa. Konten air pada -33 dan -100 kPa ditentukan pada tiga sampel per subplot. Satu sampel per suplot digunakan pada -300, -500, dan -1500 kPa, meskipun pengukuran pada -1500 kPadiulangi hanya dua ulangan saja. Konten air gravimetric dikonversi menjadi volumetric dengan penggalian dengan nilai densitas bulk. Distribusi ukuran pori diestimasikan menggunakan persamaan kapilaritas.

Konduktivitas hidrolik non saturasi

Fungsi konduktivitas hidrolis non saturasi ditentukan dengan solusi analitik bentuk tertutup untuk model hidrolik prediktif dari Bourdine (1953) yang diajukan oleh van Genuchten (1980)

Persamaan (1)

dimna K, adalah konduktivitas hidrolik relatif, y adalah potensial air, dan a dan n adalah parameter iindependen yang diestimasikan dengan mencocokan persamaan berikut terhadap data karakteristik air.

Persamaan (2)

qr adalah kandungan air volumetric residual, qs adalah kandungan air pada saturasi. Nilai m diberikan oleh

persamaan (3)

Porositas total

Densitas bulk kering ditentukan, menggunakan metode Gradwell (1972), pada empat sampel masing-masiing 2640 cm3 diambil random dari setiap sub plot (40-110 mm kedalaman tanah). Densitas partikel diukur dan porositas total dihitung, juga menggunakan metode Gradwell (1972)

Albedo gelombang pendek

Albedo gelombang pendek diukur menggunakan solarimeter inverse dan tegak Kipp dan Zonen (model CM 11, Kipp & Zonen, DELFT BV, Delft, Belanda) ditempatkan 0.5 m di atas permukaan tanah. Sebuah faktor koreksi untuk mengkompensasi cetakan bayangan oleh instrumen dihitung dengan teori faktor pandangan. Solarimeter invers dilindungi untuk mencegah error dengan mengukur radiasi matahari dari horizon, ini membatasi area lihat sampai 5.56 m2. Sebuah faktor pandangan digunakan untuk kompensasi untuk batasan ini. Output dari solarimeter dikumpulkan dengan sistem loging data otomatis sebagai rata-rata per jam menggunakan interval sampel 10-s. Albedo gelombang pendek dicatat sebagai rasio yang direfleksikan terhadap radiasi sinar matahari yang datang. Pengukuran albedo dibuat dalam kondisi matahari cerah jika mungkin. Dimana adanya mendung mengurangi fluksi sinar matahari yang masuk sampai di bawah 600 W m-2, pengukuran albedo ini dibuang. Tindakan pencegahan harus dilakukan karena fraksi yang nampak (0.4-0.7 um) dari radiasi matahari total di bawah langit mendung cenderung lebih besar daripada langit cerah pada kondisi yang lain yang sama. Ini bisa menghasilkan pengukuran refleksi yang tertekan.

Kandungan air tanah permukaan (bersama dengan albedo gelombang pendek)

Kandungan air tanah permukaan diukur secara gravimetric pada sampel sekitar 170 cm3. Pada setiap kejadian sampling bersama dengan pengukuran albego (per jam), enam replikasi dari sampel kandungan air diambil dari kedalaman 0 sampai 20 mm.

Kekasaran permukaan (bersama dengan albedo gelombang pendek)

Kekasaran permukaan diukur dengan pengukuran point microrelief meter, yang memungkinkan pengukuran elevasi permukaan dengan resolusi 1.0 mm pda grid 0.5 m regular. Alat ini diangkat di atas permukaan tanah sebelum pembacaan dilakukan pada jarak 0.05 m. Dua dari set pengukuran ini diselesaikan pada setiap sub plot yang digunakan untuk penentuan albedo. Kekasaran permukaan tanah dicirikan menggunakan metode semivarian dari Linden dan Van Doren (1986), yang merupakan prosedur variabilitas spasial modivikasi (MAED). Dengan menghitung MAED (DZh) dan memplot terhadap jarak diantara point-point sampel elevasi, sebuah bentuk fungsi yang konsisten didapatkan. Ini memungkinkan sebuah regresi bentuk yang konsisten diaplikasikan untuk banyak data elevasi dan koefisien regresi didgunakan untuk mendapatkan parameter kekasaran permukaan. Modal yang digunakan adalah :

Persamaan (4)

Distribusi ukuran agregat (bersama dengan albedo)

Distribusi ukuran agregat tanah ditentukan dengan mengunakan ayakan rotasi (Lyles dkk, 1970). Sampel tanah permukaan sekitar 2400 cm didapatkan dari 40 mm dari tanah menggunakan skup dasar flat. Tiga sampel didapatkan dari posisi random dalam setiap sub plot. Sampel kering udara diayak untuk menentukan distribusi ukuran agregat. Range ukuran agregat ditentukan: <0.26,>18.0 mm diameternya. Potongan besar dari residu tanaman dihilangkan sebelum diayak.


Analisis statistik

Paket komputasi analisis statistik GENSTAT (Genstat 5 committee, 1987) digunakan untuk ANOVA. Duncan’s new multiple range test (Steel dan Torie, 1981) digunakan
untuk perbandingan treatment individual, ini menggunakan beberapa range dan level signifikansi avriabel, tergantung gpada jumlah mean yang digunakan, danmemiliki keuntungan kesederhanaan tambahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Porositas total

Analisis varian menunjukkan bahwa PTSW tidak memiliki efek signifikan pada porositas total. Analisis menggunakan DNMRT menunjukkan bahwa porositas total rata-rata dari sekuen persiapan lahan minimum (67.4%) secara signifikan lebih tinggi (P<0.05) style=""> sekuen intermediate dan berlebihan.

Karakteristik air tanah

Efek dari PTSW dan sekuen persiapan lahan pada karakteristik air tanah ditunjukkan dalam gambar 1 dan 2. Analisis varian dari konten air volumetric (qv) pada setiap langkah potensial matrik yang diukur dalam hubungan ini menunjukkan bahwa treatment PTSW memiliki efek signifikan pada (P<0.01) style="font-family: Symbol;">qv pada -3.0 kPa tetapi tidak pada segala potensial matrik terukur yang lain. Pada setiap potensial terukur dari -1.0 sampai -500.0 kPA, treatment PTSW 0.18 kg kg-1 menghasilkan nilai-nilai qv terbesar.

Efek sekuen persiapan lahan signifikan pada potensial matrik -3.0, -10.0, -100.0 dan -300.0 kPA (ANOVA, P<0.01). style="font-family: Symbol;">ym) dari -1.0 sampai -500.0 kPa, qv pada plot persiapan lahan berlebihan adalah lebih besar daripada dua sekuen persiapan lahan yang lain. Struktur tanah dihasilkan dari sistem persiapan lahan yang berbeda memiliki efek kecil pada slope bagian fungsi karakteristik air dalam range potensial matrik -1.0 sampai 1500 kPA.

Ketika sembilan treatment individual dipertimbangkan secara terpisah, operasi persiapan lahan berlebihan pada 0.18 kg kg-1 PTSW menghasilkan qv terbesar pada setiap y yang diukur.

Efek dari PTSW dan sekuen persiapan lahan pada berbagai kategori ukuran pori fungsional (didefinisikan oleh De Leenheer, 1977) ditentukan menggunakan fungsi karakteristik dari tanah yang diukur. Kategori ukuran pori fungsional ini adalah arbitrary dan analisis ini mengasumsikan validitas model tabung kapiler untuk menghubungkan potensial matrik selama fase desorpsi dengan sebuah ESD. Distribusi ukuran pori didapatkan dari karakteristik air adalah sebuah aproksimasi, bukan deskripsi detail dari geometri inti. Namun, analisis ini memberikan sebuah indikasi ukuran pori yang dihasilkan oleh berbagai treatment persiapan lahan.

Makroporositas tanah didefinisikan sebagai volume total dari semua pori yang dialirkan pada potensial matrik -10 kPa. Porositas aerasi tanah adalah volume pori yang mengalir diantara 0 dan -1.0 kPa, dan porositas transmisi didefinisikan sebagai volume pori yang mengalir diantara -1.0 dam -10.0 kPa potensial matrik. Volume total pori yang mengalir antara -10.0 dan -1500 kPa potensial matrik didefinisikan sebagai kapasitas penahanan air yang ada. Analisis varian menunjukkan sekuen persiapan lahan memiliki efek pada makroporositas (P<0.01). style=""> dan intermediate menghasilkan makroporositas (DNMRT, P <0.05) style=""> tidak dipengaruhi secara signifikan oleh sekuen persiapan lahan yang menunjukan bahwa treatment persiapan lahan mempengaruhi makroporositas terutama karena perubahan dalam volume pori > 300-um diameternya.

Kapasitas penahanan air yang ada dimaksimalkan ketika tanah dipersiapkan berlebihan (tabel 1). Namun, tidak ada perbedaan signifikan diantara kapasitas penahanan air yang tersedia setelah sekuen persiapan lahan intermediate dan berlebihan (DNMRT). Analisis varian menunjukkan PTSW tidak secara signifikan mempengaruhi makro, aerasi, porositas transmisi atau kapasitas holding air. Cresswell dk (1991) membahas distribusi ukuran agragat yang dihasilkan dalam eksperimen yang dijelaskan di sini. Mereka mengamati bahwa sekuen pelayanan berlebihan menghasilkan tanah halus, bubuk, dengan terutama agregat granular sangat kecil dan dengan agregat granular besar persiapan lahan minimum, mungkin pecah sepanjang bidang kelemahan natural, dicampur dengan jumlah agregat kecil yang lebih sedikit. Agregat besar tidak memadat dengan erat, menghasilkan porositas total yang lebih besar yang merupakan pori aerasi besar.

Konduktivitas hidrolik dekat saturasi

Sekuen persiapan lahan memiliki efek signifikan pada konduktivitas hidrolik dekat saturasi (ANOVA, P <0.01), style=""> persiapan lahan dirata-rata pada semua treatment PTSW) setelah persiapan lahan minimum (14.9 cm h-1) secara signifikan lebih tinggi (DNMRT, p <0.05)>-1), ketika keduanya tidak berbeda signifikan dari persiapan lahan intermediate (13.5 cm h-1). Treatment individual menghasilkan nilai konduktivitas tertinggi adalah persiapan lahan minimum pad anilai PTSW 0.18 dan 0.23 kg kg-1 (tabel 2). Dua treatment ini memiliki konduktivitas tinggi (DNMRT, P <0.05) style=""> persiapan lahan berlebih. Tidak ada perbedaan signifikan yang lain dalam treatment. Hasil ini menegaskan sekuen persiapan lahan dan treatment PTSW yang menghasilkan volume makropori tinggi menghasilkan rate fluksi air dekat saturasi rate yang tinggi.

Penguuran karakteristik air tanah dan konduktivitas hidrolik dekat saturasi melibatkan saturasi sampel tanah. Perubahan struktural mungkin terjadi selama prosedur pembasahan dan hasil yang dilaporkan disini lebih representative dari tanah yang mengalami siklus basah-kering lapangan daripada tanah yang baru diolah. Ketika tanah ladang selesai setelah siklus basah dan kering, volume makropori mungkin turun, akibatnya menurunkan konduktivitas dekat saturasi. Usaha lebih lanjut dibutuhkan untuk menentukan dan mengerti lebih baik segala perbedaan dalam perubahan temporal dalam sifat hidrolik tanah setelah operasi persiapan lahan yang berbeda.

Konduktivitas hidrolik tidak saturasi

Konduktivitas hidrolik tidak saturasi yang diprediksi, K (q), dipengaruhi oleh sekuen persiapan lahan, dengan konduktivitas terkecil mengikuti setelah persiapan lahan berlebihan (gambar 3). Treatment persiapan lahan minimumd an intermediate menghasilkan konduktivitas yang sama rata-rata, keduanya leblih tinggi daripada yang setelah persiapan lahan berlebihan. Pada kandungan air >0.20 m3 m-3, efek PTSW nampak dalam treatment persiapan lahan minimal, dengan konduktivitas hidrolik non saturasi setelah persiapan lahan minimum pada PTSW 0.18 kg kg-1 lebih dari persiapan lahan selanjutnya pada pTSW 0.32 kg kg-1. Meskipun persiapan lahan berlebihan menghasilkan volume pori yang lebih besar yang mengalir diantar a-10 dan -1500 kPa potensial matrik, ini tidak menghasilkan prediksi yang dari konduktivitas hidrolik pada range ini. Ini mungkin karena kontinyuitas pori yang lebih kecil dan turtoisitas yang lebih besar setelah persiapan lahan berlebih tetapi lebih mungkin karena sensitivitas metode produksi terhadap kecocokan (terukur) konduktivitas hidrolik dan potensial matrik (-0.4 kPA) dimana konduktivitas terukur ditentukan.

Albedo gelombang pendek tanah gundul

Efek sudut puncak pada albedo gelombang pendek

Untuk menghubungkan koefisien refleksi radiasi matahari gelombang pendek pada permukaan secara langsung terhadap kandungan air tanah, efek sudut puncak matahari harus dihilangkan terlebih dahulu. Efek sudut puncak pada albedo gelombang pendek diukur pada dua tilth tanah yang berbeda, keduanya pada permukaan kering-udara (kandungan air 0.05-0.07 kg kg-1) (gambar 4). Albedo turun dengan sudut puncak meningkat, meskipun hanyasedikit range sudut puncak yang dipertimbangkan (23.5 sampai 49.5o). Kedua regresi ini berbeda signifikan dari slope nol dalam arah negatif (P <0.01,>

Mekanisme sudut zenith pada albedo nampak kompleks dan ini tidak dimengerti dengan baik. Distribusi angular dari kedatangan radiasi pada permukaan tanah mungkin mempengaruhi hubungan diantara albedo dan sudut puncak. Distribusi ini dipengaruhi oleh posisi matahari dan turbiditas atmosfer. Coulson dan Reynold (1971) menyarankan bahwa penjebakan sinar dengan beberapa refleksi dalam gap diantara partikel tanah akan dimaksimalkan pada sudut puncak rendah dimana radiasi datang lebih normal terhadap permukaan tanah. Agar albedo turun dengan peningkatan sudut puncak, harus ada mekanisme lain yang beroperasi.

Kandungan air tanah, struktur tanah permukaan, dan albedo gelombang pendek

Efek dari kandungan air pada albedo gelombang pendek ditunjukkan untuk tanah dengan struktur permukaan yang berbeda dalam gambar 5 dan 6. Basah rata –rata (kandungan air >0.22 kg kg-1) dan kering (<0.10>-1) untuk berbagai treatment ditunjukkan dalam tabel 3 bersama dengan kekasaran permukaan terkait (indeks LD) dan prosentase agregat (18 mm diameternya. Dalam kondisi kering, warna tanah (warna standard Munssell) adalah coklat kuning abu-abu (10 YR 2/3) dan basah, coklat (10 YR 5/3)

Perubahan besar dalam albedo dengan kandungan air tanah permukaan diamati. Bentuk akr dari albedo vs kurva kandungan air diukur dalam stud ini bersama dengan observasiIdso dkk (1975), dimana kedalaman yang sama dari tanah disampling. Kandungan air tanah ditentukan pada kedalaman 0 sampai 20 mm sebagaimana dibutuhkan oleh sifat kasar dari permukaan tanah. Albedo diharapkan menjadi fungsikandungan air pada permukaan tanah. Kandungan air berubah dengan kedalaman sehingga penggunaan kandungan air rata-rata pada kedalaman ini mungkin mencairkan hubungankandungan air-albedo. Hasil ini, kemudian, spesifik terhadap kedalaman 0 sampai 20 mm dan tidak menunjukkan hubungan diantara albedo gelombang pendek dan kandungan air pada permukaan tanah. Namun, hubungan yang diberikan di sini adalah nilai praktis untuk pengukuran lapangan.

Twomey dkk (1986) menyarankan bahwa alasan untuk albedo tanah basah untuk lebih rendah daripada tanah kering adalah perubahan media sekitar partikel dari udara ke tanah menurunkan indeks refraktif relatif dan meningkatkan ‘forwardness’ dari penyebaran udara. Sebagai hasil, foton yang datang harus disebarkan lebih sering sebelum berputar dan kembali dari tanah. Setiap penyebaran melibatkan probabilitas absorbsi, semakin kecil jumlah foton yang bertahan semakin besar event penyebaran, dan albedo turn.

Efek perbedaan dalam struktur tanah permukaan pada albedo kecil terhadap efek kandungan air tanah. Variasi maksimum dalam albedo tanah kering dan basah (tabel 3) pada range penuh kondisi permukaan adalah 2. Perbedaan diantara nilai albedo maksimum dan minimum diamati pada range penuh kandungan air permukaan tidak berbeda secara konsisten dengan struktur permukaan tanah. Struktur perumukaan yang berubah nampak mempengaruhi albedo dengan memindahkan kurva kandungan air –albedo secara keseluruhan naik atau turun, tidak ada indikasi jelas rate penurunan albedo dengan peningkatan kandungan air terhadap struktur tanah permukaan.

KESIMPULAN

Operasi persiapan lahan multi pass sangat mempengaruhi karakteristik air tanah dekat saturasi, dengan persiapan lahan itnensif menurunkan makroporositas terutama karena reduksi volume pori aerasi besar. Slope karakteristik air pada range potensial matrik -1.0 sampai -1500 kPa tidak dipengaruhi dengan secara luas membandingkan sistem persiapan lahan meskipun sekuen persiapan lahan menghasilkan kandungan airyang lebih besar pada setiap potensial matrik dalam range ini. Kandungan air tanah pra-persiapan lahan tidak memiliki efek signifikan pada karakteristik air.

Sekuen persiapan lahan secara signifikan mempengaruhi konduktivitas hidrolis dekat permukaan. Persiapan lahan yang semakin intensif menghasilkan konduktivitas hidrolik yang lebih kecil yang diukur pada -0.4 kPa potensial matrik. Hubungan diantara konduktivitas hidrolik dan kandungan air juga dipengaruhi oleh sekuen persiapan lahan, dengan persiapan lahan intermediate menghasilkan konduktivitas non saturasi terbesar pada range luas kandungan air. Namun, ada inkonsistensi diantara konduktivitas hidrolik non saturasi dan distribusi ukuran pori yang didapatkan dari karakteristik air tanah. Ketika range luas kandungan air tanah sebeleum persiapan lahan mempengaruhi struktur tanah yang dihasilkan dari operasi persiapan lahan (Cresswell dkk 1991), perbedaan ini tidak diterjemahkan kedalam perubahan dalam sifat-sifat hidrolik dari tanah yang baru dipersiapkan.

Perbabandingan hasil stud ini dan studi sebelumnya menunjukkan bahwa variasi albedo gelombang pendek tanah gundul dengan sudut puncak adalah spesifik tanah. Dalam studi ini, ada penurunan kecil dalam albedo ketika sudut puncak naik. Kandungan air dari tanah permukaan memiliki efek besar pada albedo gelombang pendek tanah gundul, dengan tanahyang lebih kering memiliki albedo gelombang pendek yang lebih tinggi. Struktur tanah permukaan yang berbeda yang dihasilkan oleh treatment persiapan lahan tidak menghasilkan perbedaan yang konsisten dalam hubungan kandungan air tanah-albedo. Tanah dengan permukaan kasar, berbongkah pada umumnya memiliki albedo yang turun sedikit meskipun perbedaan dalam albedo pada range permukaan yang dihasilkan dalam studi ini kecil dan tidak selalu konsisten. Efek dari kekasaran permukaan pada albedo pada umumnya kecil dibandingkan dengan efek kandungan air tanah. Albedo tanah gundul sangat berkorelasi dengan kekasaran skala kecil yang didapatkan dari distribusi ukuran agregat daripada indeks kekasaran permukaan random skala yang lebih besar (Indek LD)

Range struktur tanah induksi persiapan lahan yang dihasilkan dalam tanah ini mungkin mempengaruhi evaporasi dari tanah yang baru dipersiapkan melalui perbedaan dalam suplai air terhadap situs evaporasi daripada melalui perbedaan dalam suplai energi yang tersedia. Perubahan yang disebabkan persiapan lahan dalam albedo adalah kecil dan tahap terbatas energi awal dari evaporasi akan berakhir hanya dalam waktu yang pendek, dimana evaporasi akan dibatasi oleh suplai air terhadap situs evaporasi. Dalam manajemen persiapan lahan untuk mengoptimalkan hubungan air – tanah semaian, penekanan harus pada menciptakan sifat hidrolik semaian yang diinginkan bukan berusaha memanipulasi albedo gelombang pendek. Representasi kandungan air tanah pra-persiapan tidak nampak berguna untuk memanipulasi sifat-sifat hidrolik dan albedo gelombang pendek dalam tanah silt loam Templeton yang baru diolah dimana sekuen persiapan lahan yang umum diadopsi digunakan. Namun, efek jangka panjang dari persiapan lahan dan treatment PTSW pada struktur tanah mungkin berbeda dari hasil jangka pendek yang dipresentasikan di sini.

Riset dibutuhkan untuk mengerti perubahan temporal dalam sifat hidrolik tanah permukaan dan struktur tanah permukaan setelah persiapan lahan. Perbedaan dalam perubahan temporal dari sifat ini mengikuti treatment persiapan lahan yang berbeda mungkin terbukti menjadi lebih signifikan daripada perbedaan diantara mereka setelah persiapan lahan segera.

Pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dan lebih memahami setiap perbedaan dalam perubahan temporal dalam sifat-sifat hidrolik tanah berikut tanah yg dikerjakan berbeda operasi


Konduktivitas hidrolik jenuh

Prediksi tak jenuh fungsi konduktivitas hidrolik, K (6), yang dipengaruhi oleh tanah yg dikerjakan urutan, dengan konduktivitas terkecil kelebihan berikut tanah yg dikerjakan (Fig.3). Minimum dan menengah perawatan tanah yg dikerjakan konduktivitas menghasilkan rata-rata sama, keduanya menjadi lebih tinggi daripada kelebihan berikut tanah yg dikerjakan. Pada kadar air> 0,20 m3 m ~ 3, efek PTSW jelas di tanah yg dikerjakan minimum perawatan, dengan konduktivitas hidrolik jenuh minimum sebagai berikut PTSW tanah yg dikerjakan di kg 0,18 kg-1 menjadi lebih besar daripada yang berikut PTSW tanah yg dikerjakan di kg 0,32 kg-1. Meskipun kelebihan tanah yg dikerjakan mengakibatkan volume yang lebih besar pori-pori mengalir antara -10 dan potensi -1.500 kPa matric, dibandingkan dengan sekuens tanah yg dikerjakan lain, hal ini tidak menghasilkan ramalan konduktivitas hidrolik yang lebih besar di kisaran ini. Ini mungkin karena kurang pori kontinuitas dan lebih ketidakjujuran setelah kelebihan tanah yg dibajak tapi lebih cenderung karena sensitivitas dari metode prediksi yang sesuai (diukur) konduktivitas hidrolik dan potensi matric (- 0,4 kPa) di mana konduktivitas diukur ditentukan .

Bare Tanah Shortwave Albedo
Sudut zenith Shortwave Efek pada Albedo

Dalam rangka untuk menghubungkan koefisien refleksi gelombang pendek radiasi matahari insiden pada permukaan yang telanjang langsung ke kadar air tanah, efek sudut zenith matahari pertama-tama harus dihilangkan. Efek dari sudut puncaknya pada Albedo gelombang pendek diukur pada dua tilths luas tanah yang berbeda, baik dengan udara-permukaan kering (kadar air 0,05-0.07kg kg-1) (Gambar 4). Albedo menurun dengan meningkatnya sudut zenith, meskipun hanya oleh sejumlah kecil di berbagai sudut zenit dianggap (23,5-49,5 °). Kedua regresi berbeda secara signifikan dari nol lereng ke arah negatif (P <0,01,>Idso et al. (1975) dan Irons et al. (1992) juga mengamati Albedo meningkat dengan meningkatnya sudut zenith. Perbandingan hasil dari studi ini dengan orang-orang dari karya yang diterbitkan sebelumnya menunjukkan bahwa sudut puncak efek pada tampaknya refleksi khusus untuk tanah tertentu dan kondisi permukaan.


Mekanisme efek dari sudut puncaknya pada Albedo muncul kompleks dan tidak dipahami dengan baik. Distribusi sudut insiden radiasi di permukaan tanah dapat mempengaruhi hubungan antara Albedo dan sudut zenith. Distribusi ini dipengaruhi baik oleh posisi matahari dan oleh atmosfer kekeruhan (Monteith dan Unsworth, 1990). Coulson dan Reynolds (1971) mengusulkan bahwa cahaya perangkap oleh beberapa refleksi dalam kesenjangan antara partikel tanah akan maksimal pada sudut zenith kecil di mana radiasi insiden lebih normal terhadap permukaan tanah. Untuk Albedo menurun dengan meningkatnya sudut zenit harus ada mekanisme lain jelas akan beroperasi.


Permukaan tanah yang efek dari sudut zenit telah dievaluasi dalam studi ini dan dalam bahwa dari Coulson dan Reynolds (1971) (tanah lempung) tampak lebih kasar daripada yang digunakan dalam studi Idso et al. (1975) atau pada tanah liat juga digunakan oleh Coulson dan Reynolds (1971). Pada permukaan tanah yang kasar, permukaan tidak teratur disajikan insiden radiasi bahkan dari sudut zenith tinggi. Sebagai akibatnya, mekanisme menjebak cahaya dapat beroperasi hampir sama secara efektif pada tinggi dan rendah sudut zenith. Dengan tanah halus, di mana permukaan seragam yang lebih jelas, sudut zenith yang lebih besar berpengaruh pada perangkap cahaya bisa diharapkan.


Efek dari sudut puncaknya pada Albedo ditentukan pada tanah kering hanya karena menguapkan tingginya permintaan selama periode percobaan membuat pemeliharaan permukaan yang basah saat langit cerah kondisi sulit.
Idso et al. (1975) diamati tidak ada perbedaan dalam efek pada sudut zenith Albedo antara permukaan basah dan kering. Albedo data yang dinormalisasi dengan penambahan ke sudut zenith 23.5 ° menggunakan bentuk yang diturunkan berdasarkan fungsi mean dari kedua kurva ditunjukkan pada Gambar. 4. Perbedaan antara nilai Albedo pada 23.5 ° zenit sudut pada fungsi normalisasi, dan nilai Albedo di sudut zenit di mana pengukuran itu diambil, telah ditambahkan ke nilai Albedo asli.


Tanah Air Isi, Permukaan Tanah Struktur, dan Shortwave Albedo

Pengaruh kadar air pada gelombang pendek dinormalkan Albedo diperlihatkan untuk tanah yang berbeda struktur permukaan pada Gambar. 5 dan 6. Mean basah (kadar air> 0,22 kg kg-1) dan kering (<0,10>18-mm diam. Dalam kondisi kering, warna tanah (warna standar Munsell) adalah kuning keabu-abuan coklat (10YR 2 / 3) dan, ketika basah, cokelat (10YR 5 / 3).


Perubahan besar pada permukaan Albedo dengan kadar air tanah yang diamati. Karakteristik bentuk dari Albedo kurva kadar air vs diukur dalam penelitian ini setuju dengan pengamatan Idso et al. (1975), di mana kedalaman yang sama adalah sampel tanah. Kadar air tanah ditentukan pada kedalaman 0 hingga 20 mm seperti yang diharuskan oleh sifat kasar permukaan tanah. Albedo diharapkan merupakan fungsi dari kandungan air di bagian paling permukaan tanah. Kadar air berubah secara mencolok dengan kedalaman dan karena itu penggunaan mean kadar air pada kedalaman ini akan mengencerkan kadar air Albedo-relasi. Hasil ini, maka, khusus untuk 0 - to 20-mm mendalam dan tidak menunjukkan hubungan antara Albedo gelombang pendek dan kadar air di bagian paling permukaan tanah. Namun, hubungan yang disajikan di sini adalah nilai praktis untuk pengukuran lapangan.


Twomey et al. (1986) mengusulkan bahwa alasan utama bagi Albedo tanah basah lebih rendah daripada tanah kering adalah bahwa mengubah medium di sekeliling partikel dari udara ke air berkurang indeks bias relatif dan karenanya meningkatkan "kesiapan" cahaya hamburan ( yaitu, menyebar ke arah insiden radiasi). Akibatnya, foton harus tersebar lebih kali sebelum mereka berbalik dan muncul dari tanah. Setiap penyebaran probabilitas melibatkan penyerapan terbatas, lebih sedikit foton bertahan hidup semakin banyak jumlah kejadian hamburan, dan Albedo berkurang.

Pengaruh perbedaan struktur tanah permukaan Albedo kecil dibandingkan dengan efek kadar air tanah. Variasi maksimum di kedua tanah kering dan basah Albedo (Tabel 3) melintasi lengkap kondisi permukaan adalah 2%. Perbedaan antara maksimum dan nilai-nilai Albedo minumum diamati di berbagai kadar air tanah tidak bervariasi secara konsisten dengan struktur permukaan tanah. Mengubah struktur permukaan tampaknya telah terpengaruh oleh menggusur Albedo seluruh konten albedowater kurva ke atas atau bawah, tidak ada petunjuk yang jelas tentang tingkat penurunan Albedo dengan peningkatan kadar air permukaan yang terkait dengan struktur tanah.


Perbedaan di antara tanah yg dikerjakan Albedo perawatan di PTSW 0,32 kg kg-1 (Gambar 5) lebih besar dari orang-orang di PTSW 0,18 kg kg-1 (Gambar 6), konsisten dengan variasi yang lebih besar dan kekasaran permukaan agregat-distribusi ukuran antara
kurva pada Gambar. 5. Efek yang PTSW Albedo yang terbesar dengan minimum tanah yg dikerjakan, mencerminkan efek yang lebih besar pada PTSW agregat <18>Dengan kelebihan tanah yg dikerjakan, efek pada PTSW Albedo itu diabaikan. Secara keseluruhan, luas permukaan tanah kondisi struktural yang dihasilkan oleh perawatan tanah yg dibajak itu efek kecil pada gelombang pendek Albedo-hubungan kadar air tanah. Karena itu pada tanah ini, tanah yg dikerjakan kisaran pretillage urutan dan kadar air tanah yang digunakan dalam budidaya tanaman sereal komersial yang tidak akan menyebabkan perubahan signifikan dalam Albedo gelombang pendek.

Efek struktur permukaan pada lebih Albedo muncul terkait dengan distribusi ukuran agregat daripada indeks kekasaran acak. Koefisien korelasi Albedo tanah kering kekasaran acak adalah - 0,59, sedangkan korelasi dengan persentase agregat <18>adalah 0,81. Kekasaran acak tidak berhubungan dengan baik untuk ukuran agregat distribusi di permukaan tanah yang dipertimbangkan di sini. Ukuran agregat yang lebih baik berkaitan dengan distribusi skala kecil kekasaran, yang tampaknya mempengaruhi Albedo. Beberapa gumpalan besar di permukaan tanah, yang akan memiliki pengaruh signifikan pada indeks kekasaran acak, Albedo tidak mempengaruhi tingkat yang sama. Permukaan tanah di mana Albedo diukur mewakili rentang yang ekstrem dalam arti praktis, walaupun dalam hal Albedo mereka semua permukaan kasar. Dalam percobaan sebelumnya bekerja di mana penurunan Albedo besar telah terjadi dari permukaan roughening (misalnya, Idso et al., 1975), perbandingan telah dibuat dengan permukaan halus buatan yang dibuat oleh rolling atau Adanya genangan.



Permukaan tanah yang dipertimbangkan di sini memiliki nilai Albedo rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat kasar permukaan tanah yang digunakan, dibandingkan dengan yang digunakan untuk Albedo pengamatan oleh pekerja lain. Alasan utama lainnya adalah tingginya kandungan bahan organik tanah ini (6,2%). Total penerimaan gelombang pendek radiasi sangat tinggi pada Januari 1988 ketika pengukuran ini dibuat, dengan nilai radiasi melebihi 900 W m ~ 2 yang umum.

KESIMPULAN
Multiple-pass operasi tanah yg dikerjakan secara signifikan mempengaruhi karakteristik air tanah di dekat saturasi, dengan penurunan tanah yg dikerjakan macroporosity intensif terutama karena penurunan volume pori-pori aerasi besar. Kemiringan karakteristik air di kisaran potensi matric untuk -1.500 kPa -1,0 tidak terpengaruh oleh sistem tanah yg dikerjakan secara luas walaupun kontras yang berlebihan mengakibatkan tanah yg dikerjakan urutan isi air yang lebih besar pada setiap matric potensial dalam kisaran ini. Pretillage kadar air tanah tidak memiliki pengaruh signifikan pada karakteristik air.


Budidaya urutan secara signifikan mempengaruhi dekat-saturation konduktivitas hidrolik. Tanah yg dikerjakan lebih intensif menghasilkan konduktivitas hidrolik lebih kecil -0,4 kPa diukur pada potensi matric. Hubungan antara konduktivitas hidrolik dan kandungan air juga dipengaruhi oleh tanah yg dikerjakan urutan, dengan tanah yg dikerjakan menengah menghasilkan konduktivitas tak jenuh terbesar di berbagai isi air. Namun, ada inkonsistensi antara konduktivitas hidrolik diprediksi tak jenuh dan distribusi ukuran pori-pori disimpulkan dari karakteristik air tanah. Sementara lebar rentang kadar air tanah sebelum tanah yg dikerjakan lakukan mempengaruhi struktur tanah yang dihasilkan dari tanah yg dikerjakan operasi (Cresswell et al., 1991), perbedaan-perbedaan ini tidak diterjemahkan ke dalam perubahan signifikan dalam sifat-sifat hidrolik tanah yang baru digarap.


Perbandingan hasil dari ini dan studi sebelumnya menunjukkan bahwa tanah gundul Albedo variasi gelombang pendek dengan sudut puncaknya adalah tanah spesifik. Dalam studi ini, ada penurunan kecil Albedo sebagai sudut zenith meningkat.
Kadar air permukaan tanah memiliki dampak yang besar terhadap tanah gundul Albedo gelombang pendek, dengan tanah yang lebih kering memiliki Albedo gelombang pendek yang lebih tinggi. Permukaan yang berbeda struktur tanah yang dihasilkan oleh pengobatan tanah yg dikerjakan tidak menghasilkan perbedaan konsisten dalam Albedo gelombang pendek-hubungan kadar air tanah. Tanah dengan kasar, permukaan cloddy umumnya telah mengalami penurunan meskipun Albedo Albedo perbedaan dalam kisaran di permukaan yang dihasilkan dalam studi ini kecil dan tidak selalu konsisten. Efek Albedo kekasaran permukaan pada umumnya kecil dibandingkan dengan efek kadar air tanah. Albedo tanah gundul lebih kuat berkorelasi dengan skala kecil kekasaran berasal dari distribusi ukuran agregat daripada skala yang lebih besar indeks kekasaran permukaan acak (LD indeks).


Kisaran tanah yg dikerjakan-akibat struktur tanah yang diproduksi di tanah ini kemungkinan akan mempengaruhi penguapan dari tanah yang baru digarap melalui perbedaan dalam pasokan air ke situs menguap daripada melalui perbedaan dalam pasokan energi yang tersedia. Budidaya-perubahan akibat Albedo kecil dan energi awal tahap penguapan terbatas akan berlangsung hanya dalam waktu yang singkat, setelah penguapan akan dibatasi oleh pasokan air untuk penguapan situs. Penawaran ini secara langsung dipengaruhi oleh sifat-sifat hidrolik tanah. Di tanah yg dikerjakan persemaian manajemen untuk mengoptimalkan hubungan tanah-air, penekanan karenanya harus menciptakan persemaian yang dikehendaki sifat hidrolik daripada mencoba untuk memanipulasi Albedo gelombang pendek. Isi air tanah Pretillage mewakili kondisi lapangan yang normal tidak tampak berguna untuk memanipulasi sifat hidrolik dan gelombang pendek yang baru digarap Albedo dalam lumpur Templeton tanah lempung tanah yg dikerjakan di mana umumnya mengadopsi sekuens digunakan. Namun, efek jangka panjang dari tanah yg dikerjakan dan perawatan PTSW pada struktur tanah mungkin berbeda dari hasil jangka pendek yang disajikan di sini.


Penelitian diperlukan untuk memahami perubahan temporal permukaan sifat-sifat hidrolik tanah dan permukaan tanah yg dikerjakan berikut struktur tanah. Perbedaan dalam perubahan temporal properti ini perawatan tanah yg dikerjakan berbeda berikut mungkin terbukti menjadi lebih penting daripada perbedaan antara mereka segera setelah tanah yg dikerjakan.

UCAPAN
Penelitian ini dimungkinkan oleh bantuan keuangan Selandia Baru Universitas fromnthe Hibah Committee, NationalnWater dan Konservasi Tanah Authority, dan Departemen Riset Ilmiah dan Industri. Bantuan dari Mr David Lees, Mr Roger McLenaghen, dan staf Field Service Center, Lincoln University, adalah rasa syukur diakui

REFERENSI

Akanbi, W.B., Adediran, J. A. Olaniyan, A.B and Togun, A.O. An economic Analysis of split application of organo-mineral fertilizer on okra in Humid forest zone in Nigeria(2004). www. tropentag.de /2004/abtracts/full/143.pdf

Alabi, R.A. and P. O. Onolemhemhen Relative Economic Advantage of Maize-Soybean Mixed Cropping. Nigerian Journal of Agric-business and Rural Development (2001) 2(1): 13 - 21.

Anselm, A.E., Nweke, F. I. and Tollens E. Determinants of Cassava Cash Income in Female Headed Households of Africa. Quarterly Journal of International Agriculture(2002) 41(3):241-284.

Ayeni, A.O. Maize production in Nigeria: Problems and Prospects. Journal of Food and Agriculture (1991) 2:123-129.

Eneh, F. K. Onwubuja, I. I. and Inedia. The Economics of Intercropping Young Oil palms with Maize and Cassava. Nigeria Journal of Palms and Oils Seeds (1997) 13: 11-21.

FAO. FAO 1988-1989 Production Year Book .Statistical Series(1989) 142 (85) :159-172.

Jain, S.K. and Singh, P. S. Economic Analysis of Industrial Agroforestry in India. Agroforestry Systems(2000) 49: 255-273.

Kumar, V., Ogunlela, V. B. and Yadav. Production of Maize and Associated Intercrops in Relation to bed Configuration and Planting. Samaru Journal of Agricultural Research (1987) 5(1): 97-108.

Mead, R. and Rilley, R.W. The Concepts Of Land Equivalent Ratio And Advantages In Yield From Intercropping. Experimental Agriculture(1980) 16: 27- 228.

Moseley, W.G. An Equation for the Replacement value of Agroforestry. Agroforestry Systems (1994) 26:47-52.

Nweke, F. New Challenges In The Cassava Transformation In Nigeria And Ghana. EPTD Discussion Paper No. 118. Environment And Production Technology Division(2004) .International Food Policy Research Institute 2033 K Street, NW. Washington, D.C. 2006 USA.

Ogunsumi, L.O, S.O. Ewuola and A. G Daramola. Socio-economic impact assessment of maize production technology on farmers’ welfare in Southwest, Nigeria. Journal of Central European Agriculture ( 2005) .6 (1): 15-26

Perin, R.M. Pest Management in Multiple Cropping Systems. Agro- ecosystems (1977) 3:93-118.

Remison, S.U. Introduction Between Maize And Cowpea At Various Frequencies. Journal of Agric. Science(1980) 94: 617-621.

Remison, S.U. Interference between Crops Grown In Binary Combinations In The South West Zone Of Nigeria. Nig. Journal of Agric(1991) 26:59-72.

Remison, S.U and O.P Onelemhemhen. Effect Of Maize, Okra And Rice Intercropping With Soybean On Grain Yield In A Humid Tropical Environment. Nigerian Journal of palm and oil seeds(1999) 14: 169-175.

Steiner, K.G. Intercropping In Tropical Smallholder Agriculture With Special Reference To West Africa. Germany, German Agency for Tech. Coop (GTZ) (1982)



Nama : META NUR DINNA SALMA
NIM : 0810440239
Kelas : D
Dosen Pembimbing : Dr. Ir. ANton Muhibuddin

Tillage and Water Content Effects on Surface Soil Hydraulic Properties

and Shortwave Albedo

H. P. Cresswell,* D. J. Painter, and K. C. Cameron

ABSTRACT

The modification of surface soil structure affects soil-water processes important in crop production and soil conservation. Effects of pretillage soil water content (PTSW) with multiple-pass tillage operations were determined on soil hydraulic properties and shortwave albedo on freshly tilled soil. Objectives included determination of whether PTSW can be used to improve management of seedbed hydraulic properties and whether tillage-induced soil surface conditions significantly affect albedo. Of the three tillage sequences (minimum, intermediate, and excess tillage) applied to a Templeton silt loam soil (mixed, mesic Udic Ustochrept), the excess tillage sequence resulted in the lowest macropore volume, mainly through a decrease in the volume of aeration pores (pores >300-ju.m diam.). The slope of the water characteristic between —1.0 and —1500 kPa matric potential was unaffected by tillage treatments. The excess tillage sequence resulted in a mean hydraulic conductivity (matric potential = —0.4 kPa ) of 11.1 cm h~', compared with 14.9 cm h~' following minimum tillage. Different PTSW did not cause significant differences in hydraulic properties of freshly tilled soil. The range of tillage-induced soil structures produced did affect shortwave albedo, but to a smaller extent than shown in some previous studies. Bare soil shortwave albedo variation with zenith angle appears soil specific; here a small decrease in albedo was observed as zenith angle increased. In this soil, with commonly practiced tillage sequences and a range of PTSW representative of field conditions, information about PTSW will not help manipulation of hydraulic properties and shortwave albedo in the fresh seedbed.

FIELDS sown to cereal crops on the shallow, recent soils of New Zealand's Canterbury plains are often susceptible to wind erosion during the period from tillage until crop establishment. Evaporative water loss during this period may significantly affect the water available for crop growth in this environment. Erodibility is affected by the physical condition of the surface soil and by surface soil water content. Therefore, in assessing tillage practices for this environment, soil-water relations in the resulting seedbed are of importance.

The soil conditions resulting from tillage influence soil water storage and the loss of soil water through the process of evaporation. The rate of evaporation is determined by either the evaporative capacity of the atmospheric environment or by the supply of water to the evaporating sites, whichever is limiting. Surface soil structure has been shown to affect the proportion of incident radiation absorbed by the soil (Coulson and Reynolds, 1971; Idso et al., 1975; Jackson et al., 1990; Irons et al., 1992). Tillage affects soil hydraulic properties and consequently infiltration and water movement to evaporation sites. Thus, the modification of surface soil structure can influence evaporation by affecting both the available energy supply and water supply for evaporation.

Mechanistic soil water and energy balance simulation models (e.g., Van Bavel and Hillel, 1976) provide useful tools with which to assess changes in the soil water balance resulting from changes in soil hydraulic and physical properties (e.g., Cresswell et al., 1992). To apply models of this type, there is a need to determine the effects of management practices on these soil properties. So, to properly evaluate the suitability of different tillage systems for particular soil and climatic environments, the following must be determined: (i) the soil structure produced by particular tillage systems at various soil water contents, and (ii) the influence of the soil structure produced on soilplant— water processes in a given climate. The former is the emphasis of this study. An earlier study (Cresswell, 1990; Cresswell et al., 1991) considered the effects of tillage management on surface soil physical properties that directly affect the process of sediment transport by wind; in fhis study we considered tillage effects on properties that influence erosion by affecting soil water relations of the seedbed (i.e., soil hydraulic properties and shortwave albedo).

There is little quantitative information in the literature assessing the effects of multiple-pass tillage operations and PTSW on the soil hydraulic properties important in the description of soil water movement. Cresswell et al. (1991) found that multiple-pass tillage operations and PTSW interacted in producing significant effects on the aggregate size distribution of a fresh seedbed. They observed that the avoidance of excessive tillage reduced the likelihood of significant effects of PTSW on aggregate size distribution. This study was to determine if the influence of tillage and water content on soil physical properties observed by Cresswell et al. (1991) translate to large effects on the soil water characteristic and on hydraulic conductivity of freshly tilled soil. This will indicate whether pretillage soil water content in this cropping system can be used in manipulating seedbed hydraulic properties.

We will also consider whether the range of soil surface conditions produced by tillage systems commonly used in New Zealand produce significant variation in shortwave albedo and whether this variation is large in comparison to albedo variation with surface soil water content. Although previous studies (Coulson and Reynolds, 1971; Idso et al., 1975; Jackson et al., 1990; Irons et al., 1992) have shown the dependence of albedo on soil surface roughness, the interaction of surface roughness with surface soil water content has received little attention. Albedo studies have often used surfaces much smoother than those used in commercial cereal cropping operations. We examined the magnitude of surface structure-induced variations in albedo and whether these variations were large enough to warrant albedo being a consideration when deciding on appropriate tillage operations.

MATERIALS AND METHODS

Experimental Site

The experimental site was located on the Research Farm, Lincoln University, Canterbury, New Zealand. During the previous 7 yr, lucerne (Medicago saliva L.) had been grown in this field. The alluvial soil of the site is classified as Templeton silt loam (Kear et al., 1967; Soil Survey Staff, 1990). The average coarse sand (0.2-2.0 mm), fine sand (0.02-0.2 mm), silt (0.002-0.02 mm) and clay (< error =" 0.004" error =" 0.06%," error =" 0.01" error =" 0.32%),">

Experimental Procedure

The experiment was a split-plot, randomized, complete block design with four replicates. The main plots were three PTSW (0.18, 0.23, and 0.32 kg kg-1), which corresponded approximately to 0.58, 0.76 and 1.0 times the lower plastic limit. This water content range is representative of that at which soils are commonly tilled in Canterbury. Each main plot was split into three 3.2 by 14 m subplots, each of which had a different tillage sequence treatment. The following tillage sequences were used: (i) three heavy spring-tined cultivator passes (minimum tillage); (ii) moldboard plow, then three spring-tined harrow passes (intermediate tillage); (iii) moldboard plow, three rotary cultivator passes, followed by one spring-tined harrow pass (excess tillage). Detailed implement descriptions were given by Cresswell et al. (1991).

The trial area was sprayed with a broad-spectrum herbicide (36% glyphosate [isopropylamine salt of N-(phosphonomethyl) glycine]) and residual plant material was removed to ground level using a lawn mower prior to tillage. Soil water control was achieved with a sprinkler irrigation system. Christiansen's coefficient for water application uniformity was 95% in still air (Christiansen, 1942). Water was applied at an average rate of 3.5 mm h~' through small, self-regulating sprinklers in calm conditions. Each main plot was sampled for soil water determination immediately prior to initial tillage. Gravimetric samples of approximately 300 cm3 were taken from 12 randomly selected sites in each main plot at 0- to 15-cm depth. Secondary tillage was completed within 1 h of initial tillage. Plowing depth was kept constant at approximately 15 cm. No soil measurements were made in areas where tractor wheels traveled during tillage operations. Measurements of surface roughness and soil hydraulic properties were made in freshly tilled soil before any post-tillage rainfall events had occurred and before plots were irrigated prior to albedo determination. These field measurements and sampling for laboratory analysis were completed within 8 d of tillage. Albedo measurements then commenced and were completed 22 d later.

Experimental Measurements

Near-saturation Hydraulic Conductivity

Hydraulic conductivity at —0.4 kPa matric potential (subsequently referred to as near-saturation hydraulic conductivity) was determined in the laboratory using intact cores and a tension infiltrometer (Clothier and White, 1981). The infiltrometer uses a hypodermic syringe needle to restrict air entry and thus maintain the supply potential. Intact soil cores (150-mm length by 200-mm i.d.) were taken from four random locations in each subplot at 0- to 150-mm depth. The soil was moistened, then allowed to drain for 24 h prior to sampling. A soil stabilizer (polyvinyl alcohol) was applied to the soil surface prior to this prewetting of the sampling sites to avoid alteration of the surface soil during water application. In the laboratory, the cores were saturated by placing them in a few millimeters of deaerated water until they became wet by capillary uplift. The water level was then adjusted to within a few millimeters of the tops of the cores. After 24 h, the cores were removed from the water and placed on a steel-gauze-covered stand. Fine sand (air entry potential —3 kPa) was applied to the upper surface of the core as a slurry to facilitate contact between the soil surface and the base of the infiltrometer. Outflow from the infiltrometer was monitored until steady state was reached (usually <>

The Soil Water Characteristic

The matric potential-soil water content relationship was determined on four intact cores taken from random positions in each subplot at a depth of 75 mm (i.e., half-way between the soil surface and the bottom of the layer of tilled soil). Sampling cylinders of 70-mm length by 200-mm diam. were used in those plots subjected to either minimum or intermediate tillage, while 50-mm-length by 104-mm-diam. cylinders were used in the finer tilth excess tillage plots. The inside of each sampling cylinder was smeared with petroleum jelly before use to minimize edge effects. In the laboratory, cores were saturated by placing them in a few millimeters of deaerated water until they adjusted to within a few millimeters of the tops of the cores. After 24 h, the cores were removed and placed on tension tables for determination of water retention at potentials of —1.0,— 3.0, —5.0 and —10.0 kPa. Intact subsamples (15-mm length by 42-mm diam.) from the center of each tension table sample were equilibrated using pressure plate apparatus at potentials of -33, -100, -300, -500 and -1500 kPa. Water contents at - 33 and -100 kPa were determined on three samples per subplot. One sample per subplot was used at - 300, - 500 and —1500 kPa, although —1500 kPa measurements were repeated from two replicates only. Gravimetric water contents were converted to volumetric by multiplication with measured bulk density values. Pore-size distributions were estimated using the capillarity equation (see Marshall and Holmes, 1988, Eq.[2.10]).

Unsaturated Hydraulic Conductivity

The unsaturated hydraulic conductivity function was determined with the closed-form analytical solution to the predictive hydraulic model of Burdine (1953) proposed by van Genuchten (1980):


where K, is the relative hydraulic conductivity, i/t is water potential, and a and n are independent parameters that were estimated by fitting the following equation to soil water characteristic data:


0, is residual volumetric water content, Os is water content at saturation. The value of m is given by:

The measured near-saturation hydraulic conductivity and the water characteristic function were used as input along with the soil water content at saturation (assumed to equal total porosity x 0.90). A nonlinear, least squares curve-fitting program (RETC; van Genuchten, 1978) was used to evaluate the unknown empirical coefficients a and n while simultaneously

fitting water characteristic and hydraulic conductivity data. The residual water content was assumed to equal 6.0% following Rawls and Brakensiek (1989).

Total Porosity

Dry bulk density was determined, using the method of. Gradwell (1972), on four samples each of 2640 cm3 taken randomly from each subplot (40-110-mm soil depth). Particle density was measured and total porosity calculated, also using the method of Gradwell (1972).

Shortwave Albedo

Shortwave albedo was measured using inverted and upright Kipp and Zonen solarimeters (Model CM11, Kipp & Zonen DELFT BV, Delft, the Netherlands1; spectral range 335-2200 nm) positioned 0.5 m above the soil surface. A correction factor to compensate for the shadow cast by the instruments was calculated from view factor theory (Reifsnyder, 1967). The inverted solarimeter was shielded to prevent errors caused by the sensing of solar radiation from the horizons; this restricted the viewing area to 5.56 m2. A view factor adjustment was used to compensate for the restriction (Incropera and de Witt, 1985). Output from the solarimeters was collected with an automatic data logging system (Model CR21x, Campbell Scientific, Logan, UT) as hourly averages using a 10-s sampling interval. Shortwave albedo was recorded as the ratio of reflected to incoming solar radiation.

Albedo measurements were made in clear sky conditions where possible. Where sufficient cloud was present to reduce total incoming radiation flux to below 600 W m"2, the albedo measurements were discarded. This precaution was taken because the visible fraction (0.4-0.7 /im) of total solar radiation under cloudy skies tends to be slightly greater than under a cloudless sky in otherwise similar conditions (Monteith and Unsworth, 1990). This could result in depressed reflection measurement. Albedo was measured from trial Replicate 2 only, on the plots which were tilled at PTSW of 0.18 and 0.32 kg kg-1 (i.e., six subplots in total). Each of the tilled subplots were irrigated individually using the low-volume, high-uniformity

spray irrigation system detailed above. Approximately 15 mm of water was applied to each plot prior to commencement of albedo measurement. Although some disturbance of the surface soil with irrigation application is unavoidable, it is minimized by the design of the irrigation system and by the inherent stability of the soil. Plots used for albedo measurement were covered with rain shelters periodically to ensure that they were not affected by irrigation or rainfall except for the single irrigation immediately prior to albedo measurement. Albedo and concurrent surface soil water measurements continued until the soil surface was visibly air dry. Albedo measurements continued from 2 Jan. until 24 Jan. 1988.

Surface Soil Water Content (Concurrent with Shortwave Albedo)

Surface soil water content was measured gravimetrically on samples of approximately 170 crn3. On each sampling occasion concurrent with albedo measurement (hourly), six replicates of water content samples were taken from the 0- to 20-mm depth.

Surface Soil Roughness (Concurrent with Shortwave Albedo)

Surface soil roughness was measured with a point gauge microrelief meter, which allowed measurement of surface elevations with a 1.0-mm resolution over a regular 0.5-m grid. The apparatus was leveled above the soil surface before readings were taken at 0.05-m spacings (hence 100 measurements were made over the 0.25-m2 area). Two of these measurement sets were completed on each subplot (i.e., 0.5-m2 sample area) used for albedo determination. Soil surface roughness was characterized using the semivariance method of Linden and Van Doren (1986), which is a modified spatial variability procedure (MAED). By calculating MAED (AZh) and plotting against the spacing between elevation sample points (lag spacing, AXh), a consistent shape of function was obtained. This allowed a regression of consistent form to be applied to many sets of elevation data and the regression coefficients were then used to derive two surface roughness parameters. The model used was:


The LD parameter is an estimation of the central tendency of the difference in elevation between different points. The LS is the change in elevation per unit change in horizontal distance between points (Linden and Van Doren, 1986).

The two elevation data sets that were measured on each experimental plot were combined to give 40 transects per plot for the analysis: 20 transects along rows and 20 transects along columns. Spatial dependence was observed, in most cases, at distances <20>

The LD and LS parameters were calculated on elevation data corrected for slope and toolmark using the procedure of Currence and Lovely (1970). Oriented roughness was removed from the data and a slope correction was made to allow plot comparisons on the basis of random roughness. Previous workers have shown that slope correction is essential if any meaningful comparisons between treatments imposed on the soil are to be made (Currence and Lovely, 1970). The corrected elevations were calculated by

where h' tj is the corrected elevation reading in the t'th row and the yth column, htj is the original elevation reading in the ith row and the yth column, h, is the mean of readings in the yth column, ht is the mean of readings in the fth row, and A., is the overall mean. The upper and lower 10% of height recordings were retained in the data set, in contrast to the widely

adopted method of Allmaras et al. (1966) in which these measurements were discarded.

Aggregate Size Distribution (Concurrent with Albedo)

Size distribution of soil aggregates was determined using a modified rotary sieve (Lyles et al., 1970). Surface soil samples of approximately 2400 cm3 were obtained from the surface 40 mm of the soil using a flat-bottomed shovel. Three samples were taken from random positions within each subplot. The air-dried samples were sieved to determine aggregate-size distribution





The aggregate size ranges determined were: <0.26-,> 18.0-mm diameter. Large pieces of crop residue were removed before sieving.

Statistical Analysis

The GENSTAT statistical computing package (GENSTAT 5 Committee, 1987) was used for ANOVA. Duncan's new multiple-range test (Steel and Torrie, 1981) was used for individual treatment comparisons; it uses multiple ranges and variable significance levels, depending on the number of means involved, and has the added advantage of simplicity.

RESULTS AND DISCUSSION

Total Porosity

Analysis of variance showed that PTSW had no significant effect on total porosity. Analysis using DNMRT showed that the mean total porosity of the minimum tillage sequence (67.4%) was significantly higher (P < 0.05) than that of both the intermediate (62.3%) and excess tillage (62.3%) sequences. There were no significant differences between the intermediate and excess tillage sequences.

Soil Water Characteristic

The effects of PTSW and tillage sequences on the soil water characteristic are shown in Fig. 1 and 2. Analysis of variance of volumetric water content (0V) at each measured matric potential step in the relation showed that the PTSW treatments had a significant (P < 0.01) effect on 0V at — 3.0 kPa but not at any of the other measured matric potentials. At each measured potential from —1.0 to -500.0 kPa, PTSW treatments of 0.18 kg kg-1 resulted in the largest 0V values.



The tillage sequence effects were significant at matric potentials of -3.0, -10.0, -100.0 and -300.0 kPa (ANOVA, P < 0.01). At each measured matric potential (!/rm) from -1.0 to 500.0 kPa, the 0V in the excess tillage plots was larger than in those of either of the other two tillage sequences. Soil structures produced from widely contrasting tillage systems had little effect on the slope of the section of the water characteristic function in the matric potential range -1.0 to -1500 kPa.

When the nine individual treatments (three tillage sequence treatments and three PTSW treatments) are considered separately, the excess tillage operations at 0.18 kg kg-1 PTSW produced the largest 6V at each measured Ψm.

The effects of PTSW and tillage sequences on the various functional pore size categories (as defined by De Leenheer, 1977) were determined using the measured soil water characteristic functions. Such functional pore size categories are arbitrary and the analysis assumes the validity of the capillary tube model for relating matric potential during a desorption phase to an ESD. The poresize distribution inferred from the water characteristic is therefore an approximation, not a detailed description of pore geometry. Nevertheless, such analysis gives an indication of the pore sizes produced by the various tillage treatments.

Soil macroporosity is defined as the total volume of all pores drained at a matric potential of -10 kPa (i.e., pores >30-/im ESD). Soil aeration porosity is the volume of pores that drain between 0 and —1.0 kPa (pores > 300 fj-m ESD), and transmission porosity is defined as the volume of pores that drain between -1.0 and -10.0 kPa matric potential (300-30 jttm ESD). The total volume of pores that drain between —10.0 and —1500 kPa matric potential is defined as available water-holding capacity. Analysis of variance showed tillage sequences had a significant effect on macroporosity (P < 0.01). Excess and intermediate tillage sequences resulted in significantly lower macroporosity (DNMRT, P < 0.05) than minimum tillage (Table 1). Tillage sequences also had a highly significant effect on aeration porosity (ANOVA, P < 0.01). Aeration porosity was significantly higher for the minimum tillage sequence (DNMRT, P < 0.05) than for the excess tillage sequence (Table 1). Transmission porosity was not affected significantly by tillage sequences indicating that tillage treatments affect macroporosity mainly by changes in the volume of pores >300- /xm diam. (aeration pores).


Available water-holding capacity was maximized when the soil was tilled excessively (Table 1). However, there were no significant differences between the mean available water-holding capacity after the minimum intermediate and excess tillage sequences (DNMRT). Analysis of variance showed PTSW did not significantly affect macro-, aeration, or transmission porosity or available water-holding capacity. Cresswell et al. (1991) discussed the aggregate-size distributions produced in the experiments described here. They observed that the excess tillage sequence resulted in a very fine, pulverized soil with mainly small granular aggregates and that with minimum tillage large aggregates, probably broken along natural planes of weakness, were mixed with a smaller proportion of small aggregates. The large aggregates do not pack as closely, resulting in a greater total porosity consisting mainly of large aeration pores.

Near-Saturation Hydraulic Conductivity

Tillage sequences had a significant effect on near-saturation hydraulic conductivity (ANOVA, P < 0.01), while PTSW treatments had no significant effect. The mean conductivity (the conductivity for each tillage sequence averaged across all PTSW treatments) after minimum tillage (14.9 cm h-1) was significantly higher (DNMRT, P < 0.05) than that after excess tillage (11.1 cm h-1), while neither were significantly different from intermediate tillage (13.5 cm h"1). The individual treatments resulting in the highest conductivity values were minimum tillage at PTSW values of 0.18 and 0.23 kg kg-1 (Table 2). These two treatments had significantly higher (DNMRT, P < 0.05) conductivities than each of the excess tillage treatments. There were no other significant differences between treatments. These results confirm that tillage sequence and PTSW treatments that result in

a high macropore volume do result in high rates of nearsaturation water flux.

The measurement of the soil water characteristic and near-saturation hydraulic conductivity involved the saturation of soil samples. Structural changes probably occurred during the careful wetting procedure and hence the results reported here are thought to be more representative of a soil that has undergone a field wettingdrying cycle than of a freshly tilled soil. As a field soil settles following wetting and drying cycles, macropore volume might be expected to decrease (Klute, 1982), consequently decreasing near-saturation conductivity. Further work is needed to determine and better understand any differences in temporal changes in soil hydraulic properties following different tillage operations.





Unsaturated Hydraulic Conductivity

The predicted unsaturated hydraulic conductivity function, K(6), was affected by tillage sequence, with the smallest conductivities following excess tillage (Fig.3). The minimum and intermediate tillage treatments resulted in similar conductivities on average, both being higher than those following excess tillage. At water contents >0.20 m3 m~3, a PTSW effect was apparent in the minimum tillage treatment, with unsaturated hydraulic conductivity following minimum tillage at PTSW 0.18 kg kg-1 being greater than that following tillage at PTSW of 0.32 kg kg-1. Although excess tillage resulted in a greater volume of pores draining between —10 and —1500 kPa matric potential, compared with the other tillage sequences, this has not resulted in predictions of greater hydraulic conductivity across this range. This might be due to less pore continuity and more tortuosity after excess tillage but is more likely due to the sensitivity of the prediction method to the matching (measured) hydraulic conductivity and the matric potential (— 0.4 kPa) at which the measured conductivity was determined.

Bare Soil Shortwave Albedo

Zenith Angle Effects on Shortwave Albedo

In order to relate the reflection coefficient of shortwave solar radiation incident on a bare surface directly to soil water content, sun zenith angle effects must first be removed. The effect of zenith angle on shortwave albedo was measured on two widely differing soil tilths, both with air-dry surfaces (water contents of 0.05-0.07kg kg-1) (Fig. 4). Albedo decreased with increasing zenith angle, although only by a small amount across the range of zenith angles considered (23.5-49.5°). Both regressions differ significantly from zero slope in the negative direction (P < 0.01, Student's /-test). Coulson and Reynolds (1971) also reported decreasing albedo with increasing zenith angle on a disked loam soil with a rough surface condition. However, Coulson and Reynolds (1971) observed increasing albedo with increasing zenith angle on a clay soil. Idso et al. (1975) and Irons et al. (1992) also observed increasing albedo with increasing zenith angle. Comparison of results from this study with those from the work published earlier suggests that the zenith angle effect on reflection appears to be specific to a particular soil and surface condition.

The mechanism of the effect of zenith angle on albedo appears complex and it is not well understood. The angular distribution of radiation incident on the soil surface may affect the relation between albedo and zenith angle. This distribution is influenced both by position of the sun and by atmospheric turbidity (Monteith and Unsworth, 1990). Coulson and Reynolds (1971) suggested that light trapping by multiple reflection within gaps between soil particles would be maximized at small zenith angles where the incident radiation was more normal to the soil surface. For albedo to decrease with increasing zenith angle there must clearly be other mechanisms operating.

The soil surfaces on which the effect of zenith angle has been evaluated in this study and in that of Coulson and Reynolds (1971) (loam soil) appear to be rougher than those used in the studies of Idso et al. (1975) or on the clay also used by Coulson and Reynolds (1971). On a rough soil surface, irregular surfaces are presented to radiation incident even from high zenith angles. As a consequence, the light trapping mechanism may operate nearly as effectively at high and low zenith angles. With smoother soil, where a more uniform surface is evident, a greater zenith angle effect on light trapping could be expected.

The effects of zenith angle on albedo were determined on dry soils only because the high evaporative demand during the experimental period made the maintenance of a wet surface during clear sky conditions difficult. Idso et al. (1975) observed no differences in zenith angle effect on albedo between wet and dry surfaces. The albedo data were normalized by addition to a zenith angle of 23.5° using a derived shape function based on the mean of the two curves shown in Fig. 4. The difference between the albedo value at 23.5° zenith angle on the normalization function, and the albedo value at the zenith angle at which the measurement was taken, was added to the original albedo value.



Soil Water Content, Surface Soil Structure,

and Shortwave Albedo

The effects of water content on normalized shortwave albedo are shown for soils of differing surface structure in Fig. 5 and 6. The mean wet (water content >0.22 kg kg-1) and dry (<0.10>

Large changes in albedo with surface soil water content were observed. The characteristic shapes of the albedo vs. water content curves measured in this study concur with the observations of Idso et al. (1975), where the same depth of soil was sampled. Soil water content was determined at a depth of 0 to 20 mm as necessitated by the rough nature of the soil surface. Albedo is expected to be a function of the water content at the very surface of the soil. Water content changed markedly with depth and hence the use of a mean water content at this depth might dilute the albedo-water content relation. These results, then, are specific to the 0- to 20-mm depth and do not show the relation between shortwave albedo and the water content at the very surface of the soil. However, the relation presented here is of practical value for field measurements.

Twomey et al. (1986) suggested that the primary reason for the albedo of wet soil to be lower than that of dry soil is that changing the medium around the particles from air to water decreases the relative refractive index and hence increases the "forwardness" of light scattering (i.e., scattering in the direction of the incident radiation). As a result, incident photons have to be scattered more times before they are turned around and emerge from the soil. Each scattering involves a finite probability of absorption, fewer photons survive the greater number of scattering events, and albedo is decreased.

The effects of differences in surface soil structure on albedo were small in comparison to the soil water content effects. Maximum variation in both dry and wet soil albedo (Table 3) across the full range of surface conditions was 2%. The difference between the maximum and minumum albedo values observed across the full range of soil water content did not vary consistently with soil surface structure. Changing surface structure appears to have affected albedo by displacing the the whole albedowater content curve up or down; there was no clear indication of the rate of decrease in albedo with increasing water content being related to surface soil structure.

Differences in albedo between the tillage treatments at PTSW 0.32 kg kg-1 (Fig. 5) are larger than those at PTSW 0.18 kg kg-1 (Fig. 6), consistent with the larger variation in surface roughness and aggregate-size distribution between the curves in Fig. 5. The PTSW effects on albedo were largest with minimum tillage, reflecting the larger PTSW effects on aggregates <>

The surface structure effect on albedo appears related more to the aggregate-size distribution than to the random roughness index. The correlation coefficient of dry soil albedo to random roughness was — 0.59, while the correlation with the percentage of aggregates <>

The soil surfaces considered here have low albedo values. This is probably due to the rough nature of the soil surfaces used, compared with those used for albedo observations by other workers. The other main reason is the high organic matter content of this soil (6.2%). Total shortwave radiation receipt was very high in January 1988 when these measurements were made, with irradiance values in excess of 900 W m~2 being common.

CONCLUSIONS

Multiple-pass tillage operations significantly affect the soil water characteristic near saturation, with intensive tillage decreasing macroporosity mainly because of a reduction in the volume of large aeration pores. The slope of the water characteristic across the matric potential range -1.0 to -1500 kPa was not affected by widely contrasting tillage systems although the excess tillage sequence resulted in greater water contents at each matric potential within this range. Pretillage soil water content did not have significant effects on the water characteristic.

Tillage sequences significantly affect near-saturation hydraulic conductivity. More intensive tillage resulted in smaller hydraulic conductivity measured at —0.4 kPa matric potential. The relationship between hydraulic conductivity and water content was also affected by tillage sequences, with intermediate tillage resulting in the largest unsaturated conductivities across a wide range of water contents. However, there were inconsistencies between predicted unsaturated hydraulic conductivity and the pore-size distribution inferred from the soil water characteristic. While wide ranges in soil water content prior to tillage do affect the soil structure produced from tillage operations (Cresswell et al., 1991), these differences did not translate into significant changes in hydraulic properties of freshly tilled soil.

Comparison of results from this and earlier studies indicates that bare soil shortwave albedo variation with zenith angle is soil specific. In this study, there was a small decrease in albedo as zenith angle increased. Water content of the surface soil has a large effect on bare soil shortwave albedo, with a drier soil having a higher shortwave albedo. The different surface soil structures produced by the tillage treatments did not result in consistent differences in the shortwave albedo-soil water content relation. Soils with rough, cloddy surfaces generally had slightly decreased albedo although the differences in albedo across the range of surfaces produced in this study were small and not always consistent. The effects of surface roughness on albedo were generally small in comparison to the soil water content effects. Bare soil albedo was more strongly correlated to the small-scale roughness derived from aggregate-size distribution than to the larger scale random surface roughness index (LD

index).

The range of tillage-induced soil structures produced in this soil are likely to affect evaporation from freshly tilled soil through differences in the supply of water to the evaporating sites rather than through differences in available energy supply. Tillage-induced changes in albedo were small and the initial energy-limited stage of evaporation will last only a short time, after which evaporation will be limited by the supply of water to evaporation sites. This supply is directly affected by soil hydraulic properties. In tillage management to optimize seedbed soil-water relations, the emphasis should therefore be on creating the desired seedbed hydraulic properties rather than on attempting to manipulate shortwave albedo. Pretillage soil water contents representative of normal field conditions do not appear useful to manipulate hydraulic properties and shortwave albedo in freshly tilled Templeton silt loam soil where commonly adopted tillage sequences are used. However, long-term effects of the tillage and PTSW treatments on soil structure may differ from the short-term results presented here.

Research is required to understand the temporal changes in surface soil hydraulic properties and surface soil structure following tillage. Differences in temporal change in these properties following different tillage treatments might prove to be of more significance than the differences between them immediately following tillage.

ACKNOWLEDGMENTS

This research was made possible by financial assistance fromnthe New Zealand University Grants Committee, the NationalnWater and Soil Conservation Authority, and the Department of Scientific and Industrial Research. The assistance of Mr. David Lees, Mr. Roger McLenaghen, and the staff of the Field Service Center, Lincoln University, is gratefully acknowledged.
Reference

Akanbi, W.B., Adediran, J. A. Olaniyan, A.B and Togun, A.O. An economic Analysis of split application of organo-mineral fertilizer on okra in Humid forest zone in Nigeria(2004). www. tropentag.de /2004/abtracts/full/143.pdf

Alabi, R.A. and P. O. Onolemhemhen Relative Economic Advantage of Maize-Soybean Mixed Cropping. Nigerian Journal of Agric-business and Rural Development (2001) 2(1): 13 - 21.

Anselm, A.E., Nweke, F. I. and Tollens E. Determinants of Cassava Cash Income in Female Headed Households of Africa. Quarterly Journal of International Agriculture(2002) 41(3):241-284.

Ayeni, A.O. Maize production in Nigeria: Problems and Prospects. Journal of Food and Agriculture (1991) 2:123-129.

Eneh, F. K. Onwubuja, I. I. and Inedia. The Economics of Intercropping Young Oil palms with Maize and Cassava. Nigeria Journal of Palms and Oils Seeds (1997) 13: 11-21

FAO. FAO 1988-1989 Production Year Book .Statistical Series(1989) 142 (85) :159-172.

Jain, S.K. and Singh, P. S. Economic Analysis of Industrial Agroforestry in India. Agroforestry Systems(2000) 49: 255-273.

Kumar, V., Ogunlela, V. B. and Yadav. Production of Maize and Associated Intercrops in Relation to bed Configuration and Planting. Samaru Journal of Agricultural Research (1987) 5(1): 97-108.

Mead, R. and Rilley, R.W. The Concepts Of Land Equivalent Ratio And Advantages In Yield From Intercropping. Experimental Agriculture(1980) 16: 27- 228.

Moseley, W.G. An Equation for the Replacement value of Agroforestry. Agroforestry Systems (1994) 26:47-52.

Nweke, F. New Challenges In The Cassava Transformation In Nigeria And Ghana. EPTD Discussion Paper No. 118. Environment And Production Technology Division(2004) .International Food Policy Research Institute 2033 K Street, NW. Washington, D.C. 2006 USA.

Ogunsumi, L.O, S.O. Ewuola and A. G Daramola. Socio-economic impact assessment of maize production technology on farmers’ welfare in Southwest, Nigeria. Journal of Central European Agriculture ( 2005) .6 (1): 15-26

Perin, R.M. Pest Management in Multiple Cropping Systems. Agro- ecosystems (1977) 3:93-118.

Remison, S.U. Introduction Between Maize And Cowpea At Various Frequencies. Journal of Agric. Science(1980) 94: 617-621.

Remison, S.U. Interference between Crops Grown In Binary Combinations In The South West Zone Of Nigeria. Nig. Journal of Agric(1991) 26:59-72.

Remison, S.U and O.P Onelemhemhen. Effect Of Maize, Okra And Rice Intercropping With Soybean On Grain Yield In A Humid Tropical Environment. Nigerian Journal of palm and oil seeds(1999) 14: 169-175.

Steiner, K.G. Intercropping In Tropical Smallholder Agriculture With Special Reference To West Africa. Germany, German Agency for Tech. Coop (GTZ) (1982)

Uvah, I.I. Crop diversity and Management. Nigerian Journal of Entomology(1992) 5:5-11.